
Jakarta –
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut tarif resiprokal atau tarif timbal balik yang dipraktekkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak menurut ilmu ekonomi. Menurutnya kebijakan Trump sudah menyebabkan keadaan negatif di pasar keuangan.
Menurut Bendahara Negara, China yang sebelumnya dianggap akan menahan diri justru melawan keras kebijakan AS. Menurutnya hal itu makin memperburuk pasar keuangan.
“Dan ini menyebabkan sebuah eskalasi, makanya pemburukan di pasar duit dalam dua hari terakhir ini alasannya merupakan respon kedua sesudah China menyodorkan retaliasi,” ungkapnya dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (8/4/2025).
Setelah China mengeluarkan sikap, Trump balik mengancam akan mengoptimalkan tarif menjadi 50%. Sri Mulyani beropini keadaan ini mesti dihadapi dengan perilaku terbuka dan pragmatik, serta mesti agile di ketika yang bersamaan.
Baca juga: Jurus Luhut Hadapi Tarif Trump 32%: Pangkas Aturan untuk Tekan Biaya |
“Sesudah China menyodorkan retaliasi, Presiden Trump dengan Twitter menyampaikan aku akan mengoptimalkan lagi biayanya menjadi 50%. Ini merupakan eskalasi yang belum berakhir. Dan alasannya merupakan ini sudah menyangkut Presiden dengan Presiden, umumnya akan sungguh sukar untuk face saving-nya,” tutupnya.
Sri Mulyani juga membahas anjloknya bursa saham efek kebijakan tarif impor Trump. Investor merespons negatif keadaan perang jualan yang sedang terjadi. Keputusan Trump yang menetapkan tarif resiprokal kepada sejumlah negara menyebabkan sentimen negatif di golongan investor.
“Investor portfolio merespons negatif kebijakan China. Kita seluruhnya hari ini merupakan hari pertama pembukaan bursa, dan kita sudah menyaksikan Indonesia tadi sesi yang kedua di bawah, 8%, 7,7%,” kata Sri Mulyani.
“Kalau kita lihat banyak negara yang indeks harga sahamnya pada tanggal 8 April dibanding 2 April, banyak yang koreksinya sungguh dalam, hingga 14%, bahkan tadi yang Pak Menko (Menko Perekonomian Airlangga Hartarto) menyodorkan beberapa dapat meraih di atas 25%.” sambung Sri Mulyani.
Untuk pasar keuangan, menurut Sri Mulyani, Bank Indonesia sudah mempersiapkan sejumlah langkah untuk menghadapi guncangan yang mungkin terjadi. Sri Mulyani menyebut tekanan kepada pasar keuangan akan sudah biasa terjadi tetapi tetap perlu diantisipasi.
“Tekanan di pasar keuangan yang tinggi terakhir ini sebetulnya bukan hal yang baru. US Treasury, baik yang 2 tahun maupun 10 tahun, agak melemah alasannya merupakan ia dianggap safe haven, namun dolar indeksnya juga melemah,” terperinci Sri Mulyani.
Meski begitu, Sri Mulyani menambahkan, gejolak yang ketika ini terjadi masih dapat diatur dibandingkan ketika masa Pandemi COVID-19.
“Tapi kalau kita bandingkan pada ketika COVID, kenaikannya sebetulnya masih relatively manageable. Tapi ini menggambarkan suasananya, alarmnya mulai berbunyi. Makara kita mesti juga tetap hati-hati, tanpa panik,” tutupnya.