
Jakarta –
Penerimaan negara dipatok 2,997 trilyun rupiah, utamanya bersumber dari dari pajak sebesar 2,490 trilyun rupiah. Apakah ini masuk logika dan feasible? Sesuai tren pertumbuhan penerimaan negara RAPBN tahun sebelumnya (2,802 trilyun rupiah) dan juga sasaran penerimaan pada 2024 sebesar 2,309 trilyun rupiah kelihatannya sasaran ini feasible sebab tidak naik pesat ketimbang penerimaan negara dan penerimaan pajak dari tahun sebelumnya. Pemerintah sendiri pada dikala ini masih pesimis bahwa sasaran penerimaan pajak pada budget berlangsung tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi pada tahun 2025 dimana tantangannya jauh lebih besar lagi. Janji kampanye yang menuntut pengeluaran besar, sementara penerimaan pajak tidak dapat digenjot lebih dari kapasitasnya sekarang.
Kondisi kini cukup berat di mana daya beli penduduk turun. Kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas. Target ini susah atau bahkan tidak dapat diraih apabila ekonomi berkembang stagnan di bawah atau di sekeliling 5 persen dan tidak cocok komitmen kampanye presiden terpilih yang mau berkembang lebih tinggi lagi. Tidak usah menyerupai komitmen kampanye pertumbuhan ekonomi 8 persen, apabila pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai.
Jadi, aspek ekonomi makro pertumbuhan ekonomi, investasi dan iklim investasi serta acara jual beli utamanya ekspor akan menyeleksi sasaran penerimaan pajak tersebut bisa diraih atau tidak. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari kini bisa diraih apabila ada kebijakan makro struktural di mana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya. Sekarang Indonesia, dalam hal, kebijakan menyerupai ini kalah dengan negara tetangga Vietnam dan Filipina.
Dalam postur RAPBN kita sanggup menyaksikan dan membahas defisit APBN Indonesia yang terus berlanjut dari tahun ke tahun dan bahkan terus meningkat. Defisit budget RAPBN 2025 yang dijadwalkan 616,2 triliun rupiah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sungguh besar dan mau tidak mau mesti ditambal dengan utang. Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo.
Dengan komitmen politik yang banyak sekali, maka susah bagi pemerintahan yang mau tiba bisa meminimalisir ketergantungan pada utang dengan menaikkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus bertambah dan menghancurkan iklim makro sebab suku bunga akan didorong naik terus.
Sampai pertengahan tahun 2024 ini, sudah dipersiapkan setidaknya nyaris seribu trilyun rupiah SBN namun laris di pasar cuma separuhnya sekitar 517 trilyun rupiah. Sebelumnya tahun 2023, SBN yang dipersiapkan di pasar meraih 1,800 trilyun rupiah, namun laris di pasar sebesar 807 trilyun rupiah. Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga mesti gali lubang tutup lubang.
Pemerintahan SBY mengobrol utang sekitar 2,608 trilyun rupiah. Sepuluh tahun berikutnya, jumlah utang meraih 8,338 trilyun rupiah, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sungguh tinggi sebesar 497 trilyun rupiah. Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos budget kementerian, sektor maupun propinsi mana pun. Jika dibandingkan misalnya dengan APBD propinsi, pembayaran utang ini 1,600 persen lebih tinggi total APBD rakyat Jawa Barat.
Sekarang daya beli penduduk turun. Target pertumbuhan ekonomi 5 persen sesungguhnya tidak cukup untuk memulihkan daya beli tersebut. Makara mesti ada upaya reformasi struktural mudah-mudahan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari, yang ditargetkan 5,2 persen pada tahun 2025. Ini diinginkan mudah-mudahan ada ruang lebih untuk mendukung kenaikan penerimaan pajak. Namun, apabila daya beli penduduk melemah atau terjadi tekanan inflasi yang tinggi, maka kesanggupan penduduk untuk mengeluarkan duit pajak bisa terpengaruh. Pemerintah kini akan berjibaku mempertahankan keseimbangan antara pengumpulan pajak dan tidak memberatkan ekonomi masyarakat.
Dalam hal penerimaan pajak dan mempertahankan saat-saat ekonomi yang baik, aspek internal kementerian keuangan dan direktorat jenderal pajak ke depan akan sungguh menentukan. Kemampuan Kementerian Keuangan dan sekaligus siapa menterinya akan menjadi aspek kritis. Reformasi perpajakan mutlak perlu terus dilanjutkan, tergolong digitalisasi dan ekspansi basis pajak. Sektor apa saja yang mesti digali, tidak dapat tidak yaitu sektor industri (non-migas), tergolong jasa, selaku tiang utama. Tetapi sektor ini melorot dan berkembang rendah serta mengalami stagnasi beberapa tahun sebab tidak ada sentuhan kebijakan. Jika pertumbuhan sektor ini bisa berkembang 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan memperoleh ruang yang leluasa.
Sektor gres yang mesti digali tidak lain yaitu ekonomi digital dan ekonomi kreatif, tergolong sektor terlantar yaitu pariwisata. Dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor ini ialah potensi besar untuk memperbesar penerimaan pajak lewat pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring.
Oleh Prof. Didik J Rachbini, Ph.D.
Guru Besar dan Ekonom Senior Indef
rapbnnota keuangannota keuangan 2024hut rihut ke-79 riHoegeng Awards 2025Baca dongeng inspiratif calon polisi rujukan di siniSelengkapnya